BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 17 Juni 2009

Bertandang ke Tanah Laut

“The countries most vulnerable are least able to protect themselves. They also contribute least to the global emission of GHG. Without action they will pay a high price for the actions of others” (Kofi Annan in UNDP-HDR 2007/2008).

Seperti yang diutarakan oleh Bapak Kofi Annan, betapa pentingnya kita menjaga keseimbangan alam. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan beragam sumber daya alamnya sangat rentan terhadap perubahan. Hingga saat ini telah dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama. Selain menyediakan berbagai sumber daya tersebut, wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi lain, seperti transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah. Akankah kita hanya membiarkan kekayaan alam yang kita punyai ini dan menggunakannnya terus tanpa adanya pengelolaan yang berarti…?

Catchment Area in Damit

Melewati jalan penuh lubang dan berkelok tak mengurangi nikmatnya perjalanan, bertandang ke Tanah Laut adalah kali kedua bagi saya. Pada kesempatan kali ini, saya beserta teman-teman mahasiswa MIPA Unlam lainnya melakukan observasi di Pantai Takisung dan Desa Damit kecamatan Batu Ampar Kabupaten Tanah Laut.
Saya bahagia ketika akhirnya sampai di Pelaihari, ibu kota Kabupaten Tanah Laut. Tanah Laut tak hanya memiliki lahan pertanian yang terhampar mulai Pegunungan Meratus, tapi juga pantai dan bahkan sebuah pulau yang cukup besar, Di tengah gelora otonomi, kabupaten ini dibagi dua, yakni Tanah Bumbu, dengan ibu kota Pagatan sebagai daerah pemekaran baru, dan Tanah Laut sendiri, dengan ibu kota tetap di Pelaihari.
Perjalanan dari desa Pagatan Besar menuju Desa Damit kurang lebih dua jam. Kami harus melewati jalan penuh lubang dan berdebu, terlebih ketika akses jalan sempat macet dan terganggu oleh karena jalanan yang sempit. Tapi itu semua tak mengurangi nikmatnya perjalanan karena kami bisa menyaksikan pemandangan rawa dan tanah gambut, lengkap dengan rerumputan dan pohon perdu yang terhampar seluas mata memandang, termasuk kelapa sawit yang tumbuh subur menghiasi alam sekitar.
Damit merupakan salah satu daerah tangkapan air yang sangat penting yang terletak dikawasan selatan pulau Kalimantan. Damit merupakan dataran tinggi dengan kadar DO dan tingkat kesadahan yang tinggi. Kawasan ini merupakan contoh dimana hutan telah rusak dan intervensi manusia harus dilakukan untuk mendapatkan air. Di bendungan (impoundment) inilah beberapa anak sungai kecil dan air hujan ditampung untuk keperluan pertanian dan perikanan. Adapun sumbernya berasal dari air serapan air hujan yang melewati gunung. Pasokan air didaerah ini sangat minim sehingga masyarakat disekitar dan pemerintah daerah membuat DAM untuk mencukupi pasokan air guna memenuhi kebutuhan masyarakat seperti bertani, budidaya perikanan, berkebun, mencuci dan berbagai aktivitas lainnya.
Di dalam kawasan ini terdapat beraneka macam flora dan fauna. Akan tetapi seiring dengan kemajuan aktivitas manusia, sehingga lingkungan sekitar mendapatkan tekanan yang berakibat pada kemungkinan adanya degradasi lingkungan dalam skala yang luas. Berbagai flora yang kami temukan di sana antara lain tanaman kangkung, teratai, ilalang, putri malu, dan lain-lain. Sedangkan fauna yang ada antara lain udang, seluang, nila, kalambuai, dan lain-lain.
Polusi unsur hara di danau dapat mengganggu keseimbangan biologis. Pada kawasan perairan di Damit airnya berwarna agak hijau lumut, hal ini mengindikasikan perairannya telah terkontaminasi bakteri. Danau yang tadinya miskin unsur hara (oligotropik) diperkaya dengan unsur P dan unsur hara lain sehingga kesuburannya meningkat menjadi sedang (mesotropik), dan seterusnya menjadi subur (eutropik). Proses ini disebut proses eutrofikasi. Sebagai akibat proses eutrofikasi ini maka terjadilah perkembangan algae yang sangat banyak (algae bloom), sehingga mengurangi tersedianya oksigen bagi ikan dan makhluk lain yang hidup dalam air tersebut. Selain itu air yang penuh algae akan mempunyai rasa dan bau yang tidak enak untuk keperluan air minum.
Pencegahan polusi unsur hara yang terbaik adalah dengan cara pemberian pupuk sedemikian rupa sehingga semua unsur hara dapat diserap tanaman. Dalam prakteknya hal demikian tidak mungkin dapat dilakukan sehingga dianjurkan penanggulangan yang lebih praktis yaitu dengan cara mencegah terjadinya erosi dan run off yang berlebihan dengan menggunakan kaidah-kaidah pengawetan tanah dan air
Penurunan kuantitas air lebih banyak disebabkan oleh rusaknya daerah tangkapan air sehingga pada musim hujan air tidak sempat meresap kedalam tanah dan terjadi banjir. Musim kemarau persediaan air berkurang karena suplai air dari mata air juga berkurang. Penurunan kualitas air lebih banyak disebabkan oleh pencemaran berbagai limbah dari industri, rumah tangga dan pertanian.
Selain itu, daerah resapan merupakan komponen penting dalam sistem tata air suatu daerah. Tata air dapat diartikan sebagai suatu kondisi alami yang menggambarkan kejadian hidrologi dari sejak penerimaan air hujan, penyimpanan, pengisian sumber-sumber air, luaran air dan kehilangan air yang terjadi di suatu wilayah/daerah. Proses tersebut seharusnya berjalan secara normal dan seimbang.
Daerah kawasan tangkapan air ini masih layak untuk dipertahankan sebagai habitat berbagai organisme dan dialihkan fungsi untuk meningkatkan manfaatnya. Seperti yang dilakukan masyarakat sekitar dengan cara menanam karet, padi dan sayur-sayuran yang dapat menambah pemasukan bagi masyarakatnya.
Pemerintah harus melakukan program yang berkelanjutan dalam perbaikan lingkungan di daerah tangkapan air (catchment area) di hulu sungai yang selama ini kondisinya kritis, serta mengharapkan dukungan dari masyarakat sekitar dalam memelihara lingkungan sehingga diharapkan masyarakat akan turut serta memelihara lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS).
DAS merupakan suatu sistem sumber daya darat yang mempunyai komponen ganda dan dapat dimanfaatkan ke berbagai jurusan. DAS menampung air, menhgalihkan air tampungan lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir dan berakhir penampungan air berupa danau atau laut. Penghijauan merupakan salah satu tindakan dalam pengelolaan DAS sebagai sumber daya darat. Penghijauan perlu dikaitkan dengan tindakan-tindakan lain yang relevant untuk memperoleh hasil yang memadai. Pada dasarnya DAS merupakan suatu satuan hidrologi.
Oleh karena itu, kita harus mempertahankan wilayah yang menjadi daerah tangkapan air ini, jangan sampai tidak dikelola sehingga menjadi timbunan untuk pemukiman dan kompleks pusat jasa. Akibatnya, air hujan yang diterima pada musim penghujan sebagai sumber penerimaan air menjadi tidak efektif, akibat rusaknya sistem penyimpanan air alami. Baik dalam profil tanah, lapisan-lapisan tanah atau batuan, maupun dalam tubuh perairan akibatnya terjadi peningkatan kehilangan melalui aliran permukaan, masuk ke saluran pembuangan, selokan yang dibangun di pemukiman, kawasan industri dan kawasan aktivitas lainnya. Kemudian masuk ke dalam saluran sungai sehingga sungai cepat mencapai debit puncak yang berarti mempercepat banjir.


Why ?? Where is The Takisung Beach…??

Perjalanan ke Takisung diwarnai pemandangan sawah, kebun kelapa, gerumbulan pohon rumbia, dan tentu semak perdu yang menjadi pemandangan khas banua Tanah Laut. Di beberapa jembatan kecil yang saya lalui, sepagi itu sudah terlihat orang-orang mencari ikan. Setelah melewati jembatan di muara Sungai Tabunio (tempat bersandar banyak kapal ikan), akhirnya saya tiba di Pantai Tekisung. Pantai ini terletak dalam kawasan Tanjung Selatan, yang jika dilihat dalam peta Pulau Kalimantan tampak mencolok lantaran menjorok cukup jauh ke Laut Jawa. Pantainya lebar, meski tak terlalu panjang, karena terhalang bukit yang menjulur ke laut. Pohon kelapa dan ketapang berjejer merimbuni pantai. Di kejauhan terlihat sebuah mercu suar warna kuning menyala. Beberapa kapal ikan juga terlihat diparkir di bibir pantai yang hampir tak berombak.
Saat mendekati pesisir pantainya.. why?? dimana pantainya?? Pantainya telah mengalami banyak perubahan, ternyata pantai takisung sudah mengalami abrasi, dan untuk mencegah abrasi semakin parah, oleh pemerintah setempat pantai takisung dibikinkan siring dari batu sehingga pantai takisung tidak memiliki lagi yang namanya hamparan pasir landai.
Kabupaten Tanah Laut termasuk daerah beriklim tropis basah karena tidak terdapat perbedaan musim yang jelas. Hujan turun merata sepanjang tahun denga bulan-bulan relative basah antara Bulan Desember – Februari dan bulan-bulan relative kering antara bulan Juni – Agustus. Berdasarkan hasil penelitian antara 1915 – 1941, curah hujan bagian Timur/pantai sebesar 2,324 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan 150 hari/tahun dan di bagian Barat sampai dengan perbatasan kabupaten. Curah hujan berkisar antara 2.500 – 3.000 mm/tahun dan di wilayh Timur berkisar antara 2.000 – 2.500 mm.tahun.
Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan dan perhitungan evapotranspirasi bulanan, maka Kabupaten Tanah laut setiap bulannya tidak mengalami kekurangan air. Tanaman tahunan tidak memerlukan adanya air irigasi pada bulan-bulan yang water balance-nya kurang dari 100 mm akan mengalami kekurangan air.
Pantai tangkisung yang terletak di Pelaihari kini mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut terjadi karena ombak yang semakin tinggi hingga ke daerah pemukiman para nelayan. Selain itu, di pantai terdapat sampah organik maupun sampah non organik yang dibuang di pantai. Sampah atau limbah organik itu juga menyebabkan pencemaran laut. Walau limbah dari rumah tangga/ pemukiman dapat teruraikan, tetapi dampaknya terhadap kestabilan hidup di laut cukup besar. Nelayan dan petani mengeksploitasi alam untuk keperluan hidupnya. Kawasan ini menjadi habitat berbagai organisme. Masyarakat bertani, berkebun, mengumpulkan hasil tangkapan laut, dan aktivitas lainnya. Sehingga mereka dapat berperan dalam kegiatan ekonomi, hukum, pemerintahan dan kemasyarakatan lainnya
Kerusakan daerah pantai dalam hal ini dapat ditinjau dari pengurangan daerah pantai serta sedimentasi dan pendangkalan muara. Tingkat pencemaran juga makin tinggi di sini, ini terjadi karena dua hal. Pertama, masyarakat masih memandang laut sebagai tempat pembuangan sampah. Kedua, tidak padunya kerja sama lintas sektoral dari aparat pemerintah. Sumber pencemaran perairan pesisir dan lautan dapat berasal dari industri, limbah cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pertambangan, pelayaran (shipping), pertanian, dan perikanan budi daya.
Polusi air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Ciri-ciri air yang mengalami polusi sangat bervariasi tergantung dari jenis air dan polutannya. Untuk mengetahui suatu air terpolusi atau tidak, diperlukan suatu pengujian untuk menentukan sifat-sifat air sehingga dapat diketahui apakah terjadi penyimpangan dari batasan polusi air.
Parameter Penentuan Kualitas Air Pantai Takisung adalah antara lain Kecerahan dan Kekeruhan. Kekeruhan pada perairan tergenang, lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus; sedangkan kekeruhan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar, yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernapasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat mempersulit usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air (Effendi, 2003).
Laut takisung berwarna kecoklatan hal ini diakibatkan banyaknya lumpur di dasar laut maupun di pesisir pantai sehingga laut pantai takisung menjadi keruh. Karena air laut pantai takisung makalh hal ini sangat mempengaruhi tingkah laku organisme akuatik. Selain itu peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Haslam, 1995) serta menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebakan teradinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton diperairan adalah 20oC-30oC. Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung secara lebih intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki suhu yang lebih tinggi dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan bawah. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya stratifikasi panas pada kolom air (Effendi 2003). Selain parameter di atas kualitas air di Pantai Takisung juga dipengaruhi oleh konduktivitas serta salinitas di daerah tersebut.
Salah satu pencemaran yang terjadi adalah logsm berat. Logam berat memiliki densitas yang lebih dari 5 gram/cm3 dan logam berat bersifat tahan urai. Sifat tahan urai inilah yang menyebabkan logam berat semakin terakumulasi di dalam perairan. Logam berat di dalam air dapat masuk secara langsung ke dalam tubuh manusia apabila air yang mengandung logam berat diminum, sedangkan secara tidak langsung apabila memakan bahan makanan yang berasal dari air tersebut. Di dalam tubuh manusia, logam berat juga dapat terakumulasi dan menimbulkan berbagai bahaya terhadap kesehatan.
Sebagai contoh, bahaya yang dapat ditimbulkan oleh logam berat di dalam tubuh manusia antara lain
Cadmium (Cd) yang dalam bentuk serbuk mudah terbakar. Beracun jika terhirup dari udara atau uap. Dapat menyebabkan kanker. Larutan dari kadmium sangat beracun. Jangka panjang, terakumulasi di hati, pankreas, ginjal dan tiroid, dicurigai dapat menyebabkan hipertensi
Kromium (Cr), Kromium hexavalen bersifat karsinogenik dan korosif pada jaringan tubuh. Jangka panjang, peningkatan sensitivitas kulit dan kerusakan pada ginjal
Timbal (Pb) beracun jika termakan atau terhirup dari udara atau uap. Jangka panjang, menyebabkan kerusakan otak dan ginjal; kelainan pada kelahiran, serta berbagai logam berat lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu saja rata-rata kandungan logam berat timbal (Pb) di perairan Pantai takisung adalah kurang lebih 22 kali lebihnya dari persyaratan baku mutu yang telah ditetapkan sedangkan rata-rata kandungan logam Cd di perairan pantai tersebut adalah 6 kali kelipatannya. Dari hasil yang ada jelas telah melewati baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 maupun berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No.28 Tahun 1995 yaitu kandungan logam untuk timbal (Pb) dan cadmium (Cd) tidak boleh melebihi 0,03 ppm dan 0,01 ppm pada suatu perairan.
Dari hasil pengukuran, suhu air yang ada berkisar 28 – 29oC yang mana masih berada pada kisaran toleransi suatu organisme laut yaitu berkisar 20 – 35oC. Selain itu pH air yang terukur sekitar 8, nilai ini menyatakan bahwa pH air bersifat alkalis, hal ini sangat mendukung untuk terjadinya laju dekomposisi pada suatu perairan
Dari gambaran kondisi fisik dan kimia perairan pantai, menjadi indicator pendukung terjadinya akumulasi logam berat pada organisme perairan yang berada pada pantai tersebut Banyak ditemukan ikan-ikan mati terdampar, terjadinya erosi dan abrasi di perairan serta adanya pencemaran dalam skala lanjut membuat kondisi perairan makin memprihatinkan. Tugas kita sebagai generasi muda untuk lebih bergerak aktif dan tanggap terhadap masalah-masalah lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Apalagi peran pemerintah untuk melakukan pengelolaaan lahan pesisir yang lebih baik.
Save Our Borneo….!
*Dikutip dari berbagai sumber
Herda Ariyani (J1B108034)
FMIPA Kimia Unlam Banjarbaru

Sabtu, 06 Juni 2009

Midtes PLLB 2009

Soal:
1. Buatlah model polusi lahan rawa pasang surut yang telah dikonversi untuk sawah dengan menggunakan metode pertanian intensif. Perbandingan pupuk sintetis dan pupuk kandang yang digunakan adalah 1:2. Laju penguraian pupuk berbanding 2:6. Untuk menguraiakn pupuk tersebut diperlukan air sebanyak 1000 liter per bulan per hektar lahan. Untuk menghasilkan 5 ton gabah kering per tiga bulan diperlukan 100 kg pupuk sintesis. Untuk mengejar target produksi tahunan sebesar 5 M ton per tahun apa yang harus dilakukan jika pemakaian pupuk tidak boleh lebih dari 150 kg per hektar.
2. Untuk menaikkan pH air di kawasan budidaya perikanan dari 4 menjadi 5 diperlukan 100 ton kapur per bulan. Jika 1 liter air dengan pH 4 dirubah menjadi Ph 5 diperlukan 1 gram kapur. Berapakah jumlah air yang digunakan dalam kegiatan budidaya perikanan tersebut per bulan.
3. Sebutkan nama 6 sungai besar yang berasal dari pegunungan meratus dan bermuara di kawasan rawa (cekungan Barito) dan di sungai Barito.

Jawab:
1. Diketahui: Pupuk sintetis : Pupuk kandang = 1:2
Perbandingan laju penguraian = 2:6
Volume air untuk penguraian = 1000 liter/bulan.hektar lahan
5 ton gabah kering/3 bulan → 100 kg pupuk sintetis
Target produksi = 5 M ton/tahun
Syarat: massa pupuk ≤ 150 kg/hektar
Ditanya : Apa yang harus dilakukan untuk memenuhi target ?
Solusi :

a)Massa gabah kering
5 ton/3 bulan
1250000 ton/3 bulan*

b)Massa pupuk sintetis
100 kg
25.000.000 kg

c) Massa pupuk kandang
200 kg
50.000.000 kg

Jadi, total pupuk yang digunakan untuk memenuhi target sebanyak 75.000.000 kg/hektar, sedangkan syaratnya adalah hanya 150 kg/hektar.
Massa pupuk yang diperlukan : Massa pupuk menurut syarat = 500.000 : 1
Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa yang harus dilakukan adalah memperluas lahan sawah menjadi 500000 atau 500.000 hektar.
Note:
*Karena target produksi sebesar 5 M ton/tahun jadi per 3 bulannya sebanyak 1.250.000 ton.

2. Diketahui: pH 4 → pH 5 = 100 ton kapur/bulan
1 liter airpH4 → 1 liter airpH5 = 1 gram kapur
Ditanya : volume air/bulan = ... ?
Solusi :
Ketentuan:
1 kg = 1000 gram
1 ton = 1000 kg
1 ton = 1000 x 1000 gram = 1 M gram
100 ton = 100 M gram
Perbandingan antara massa kapur dengan volume air yang digunakan :
1 gr → 1 liter
1 kg → 1000 liter
1 ton→ 1 M liter
100 ton → 100 M liter
Jadi, air yang diperlukan untuk menaikkan pH 4 menjadi 5 sebanyak 100 M liter atau sama dengan 108 liter.

3. Enam sungai besar yang berasal dari pegunungan meratus dan bermuara di kawasan rawa (cekungan Barito) dan di sungai Barito, antara lain :
Sungai Negara; Sungai Amandit; Sungai Riam kanan; Sungai Martapura; Sungai Alalak dan Sungai Kahayan.

Jawaban Hand Out PLLB

Jawaban HandOut PLLB
KUALA (ESTUARI)

SOAL

1. Tentukan posisi (titik koordinat) (1) Hudson Bay (2) Mekong River (3) Teluk Tomini (Petunjuk : Cari informasi ketigatempat di atas, cari posisi tersebut menggunakan google earth).
(1) Titik koordinat Hudson Bay: 5942’28.15 LU - 8438’48.94 BB.









Gambar 1. Hudson Bay (Kanada)
(2) Titik Koordinat Mekong River : 1541’59.72 LU - 10529’24.39 BT.










Gambar 2. Mekong River (Cina)





(3) Titik KoordinatTeluk Tomini : 035’35.04 LS - 12055’42.77 BT










Gambar 3. Teluk Tomini (Sulawesi Utara)

2. Jelaskan perbedaan ketiga lokasi tersebut sebagai kawasan kuala (dilihat dari aspek landscape dan biodiversity)!
Dilihat dari aspek landscapenya untuk kawasan Hudson bay berada di Negara Kanada. Berdasarkan titik koordinatnya pun kita dapat melihat keadaan yang terjadi pada daerah tersebut. Untuk Hudson bay yang terletak pada 5942’28.15 LU - 8438’48.94 BB, dapat kita lihat bahwa daerah ini terletak tidak jauh dari samudera Artik. Pada Samudera Artik suhu rata-rata untuk daerah ini pertahunnya sekitar -5C hingga -2C, dengan suhu paling panas berkisar 10,5C hingga 11,5C serta suhu yang paling dingin berkisar antara -19C hingga -16C. Setelah kita mengetahui suhu pada daerah tersebut, dari aspek biodiversitas kita dapat melihat apa saja keanekaragaman yang terdapat di daerah tersebut, baik itu flora atau fauna yang dapat hidup pada daerah tersebut.
Daerah Hudson bay agak dingin, jenis-jenis flora yang hidup sekitar daerah ini anatara lain sejenis pohon cemara, tamarack, shining willow, bebb willow, serta tumbuhan lainnya yang terdiri atas semak belukar eriacaceous, cottongrass, lumut sphagnum, teh Labrador utara, lapland rosebay, crowberry hitam, arbei, kutub lumut rusa, dan sebangsa lumut karibu. Selain itu di bagian utaranya tedapat tundra tanpa pepohonan, di bagian selatan terdapat taiga. Sedangkan untuk fauna yang dapat hidup di daerah ini baik di sekitar ataupun di dalam Hudson bay itu sendiri di antaranya hewan-hewan yang memiliki bulu yang dapat melindungi dirinya dari dinginnya suhu pada daerah tersebut seperti beruang kutub, musang, serigala, kelinci sepatu salju, kijang ekor putih, rusa besar, biri-biri dan lain-lain. Burung-burung diantaranya seperti burung hantu boreal, elang berekor merah, jalak hitam walet pohon, angsa kanada, angsa salju, Bebek hitam amerika, pintail utara, angsa tundra, belibis bersayap hijau, itik jantan, Bebek hitam burung belibis biru. Selain itu juga terdapat banyak jenis ikan, seperti ikan haring danau.
Sungai Mekong merupakan sungai terpanjang ke-12 dengan panjang berkisar 4.350-4909 km dan sungai terbesar volume ke-10 dengan luas kawasannya sebesar 795.000 km2. Berdasarkan aspek landscapenya sungai Mekong terbentang sepanjang Cina-Myanmar-Laos-Thailand-Kamboja hingga Vietnam. Karena variasi musim yang sangat berbeda dalam aliran dan adanya rapid dan air terjun membuat navigasi sangat sulit. Sedangkan berdasarkan aspek biodiversitasnya, sungai Mekong memiliki beranekaragam kekayaan alam karena alirannya yang menyusuri beberapa negara yang memiliki bermacam-macam musim. Fauna yang ada di daerah tersebut seperti lumba-lumba Irawaddy, buaya Siamese, ikan kucing raksasa, dan beberapa burung seperti sejenis bangau besar dan bangau Sarus.
Seperti yang kita ketahui teluk Tomini terletak di daerah Sulawesi Utara, jika di lihat dari aspek landscapenya berdasarkan titik koordinatnya daerah ini merupakan daerah tropis, di mana ada bagian teluk yang dilewati khatulistiwa. Dari aspek biodiversitasnya, flora dan fauna yang ada pada daerah ini tentunya flora dan fauna yang ada pada daerah tropis. Adapun Flora yang hidup pada daerah tropis seperti mangrove, terumbu karang, lamun pantai, nipah dan lain-lain. Sedangkan fauna yang pada daerah seperti ini seperti ikan-ikan endemik (ikan baung, lais dan seluang) yang secara genetik memiliki kesamaan dengan ikan-ikan air tawar pulau Sumatera.

3. Jelaskan produk alami dan jasa atau manfaat dari kuala?
Produk alami dan jasa atau manfaat dari kuala adalah menjadi salah satu kawasan yang sangat produktif, menjadi tempat mencari makan (feeding ground), tempat perkawinan (breeding ground) bagi berbagai jenis ikan dan bahkan terdapat sarang yang menjadi tempat tinggal bagi jenis hewan lainnya. Mereka semua bergantung kepaa kekayaan makanan yang tersedia di kawasan kuala itu. Selain itu, manusia juga menggantungkan sebagian hidupnya di kawasan kuala ini, mulai dari mencari makan, pekerjaan perekonomian serta rekreasi. Dari 33 kota besar di dunia, 22 kota terletak di kawasan kuala.
Kuala merupakan tempat yang terletak di muara sungai, tempat dimana air tawar (sungai) dan air laut bertemu dengan kata lain kuala merupakan salah satu kawasan yang sangat subur, disini terdapat berbagai jenis flora dan fauna yang unik karena lingkungannya menyediakan hara yang banyak akibat pertemuan antara air tawar dan air laut, sehingga menjadi air payau. Ini merupakan salah sati produk alami dari kawasan kuala disamping flora dan fauna yang ada. Produk alami yang dihasilkan dari kuala (estuari)selain itu adalah antara lain adalah ikan-ikan segar, diantaranya yang terkenal di Indonesia adalah ikan Hilsa toly, Hilsa elongata, Setipinna tatty, dan Lutjanus lutjanus, Lates calcalifer, dan Arius thalassinus. Selain itu daerah kuala juga menjadi salah satu daerah penghasil garam. Sedangkan jasa atau manfaat dari kuala antara lain adalah sebagai navigasi, budidaya laut, rekreasi, pengembangan pemukiman, dan pembuangan limbah. Selain nilai pakai langsung tersebut, estuari saat ini dikeringkan untuk produksi pertanian seperti di Cilacap.
Kawasan ini sangat penting karena menyediakan berbagai produk biologis dan ekonomi serta layanan lainnya. Selain menjadi habitat berbagai organime, kawasan ini juga merupakan penentu kebersihanan kesehatan lautan. Kawasan ini berfungsi sebagai filter dari berbagai kotoran, sampah dan material erosi yang berasal dari sungai menuju ke laut. Ini merupakan salah satu jasa dari kawasan kuala tersebut.
Estuari (kuala) merupakan habitat permanen berbagai jenis kerang-kerangan, ikan dan kepiting. Bahkan merupakan hunian untuk buaya muara. Kuala juga merupakan kawasan persinggahan berbagai jenis burung alam kegiatan migrasinya. Kuala merupakan pusat kegiatan ekonomi bagi kumunitas pesisir. Selain itu juga menyediakan kawasan rekreasi.
Pergerakan air di kawasan kuala mentransportasikan berbagai organisme, mensirkulasikan nutrisi dan oksigen, mentransportasikan limbah dan sedimen. Sekali atau dua kali pasang mendorong air laut yang mengandung kadar garam untuk memasuki kawasan kuala.
Selain itu, manfaat dari genangan dan aliran air pada bagian daratan kawasan kuala membentuk parit-parit (tidal-creek) yang berliku-liku dan kadang-kadang selalu tergenangi oleh sisa air dikala surut. Cekungan ini menjadi tempat ikan-ikan dapat terus bertahan. Sedangkan pada kawasan lapisan lumpur (mud flat) berkadar garam tinggi mengandung peat hasil dari pembusukan material organis di perairan. Tempat ini seperti lapangan, dimana hewan-hewan pembuat lubang-lubang singgah dan mengembangkan habitatnya.Adapun fauna-fauna yang hidup pada daerah ini seperti Kepiting (Scylia serrata), tiram (Crassostrea cucullata), buaya muara dan banyak ikan komersial merupakan hewan estuari. Udang niaga yang memijah di laut lepas pun membesarkan larvanya di ekosistem ini dengan memanfaatkannya sebagai sumber makanan. Tidak hanya itu, kuala terkadang juga menjadi tempat persinggahan burung-burung yang bermigrasi. Karena kekayaan yang alam itu lah, banyak manfaat yang di dapatkan dari daerah ini, kuala (estuari) tidak hanya menjadi tempat ikan-ikan mencari makan (feeding ground), tempat perkawinan (breeding ground) berbagai jenis ikan, kuala juga menjadi sumber ekonomi bagi nelayan, sehingga kuala juga dijadikan tempat pemukiman bagi warga yag menggantungkan hidupnya dengan kuala tersebut (komunitas pesisir). Selain itu, letak kuala yang strategis, sehingga kuala menjadi media penghubung yang sangat praktis antara daratan dan lautan sehingga kuala banyak digunakan sebagai tempat kapal berlabuh. Tidak dipungkiri dengan berlimpahnya kekayaan alam yang terdapat di kuala, menjadikan daerah kuala salah satu alternatif rekreasi.



Jawaban HandOut PLLB
VALUASI LAHAN BASAH

Soal :
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan contingent valuation method (CVM), hedonic pricing (HP), net factor income (NFI), dan the travel cost method (TCM)
2. Jelaskan mengapa proses valuasi lahan basah ini harus dilakukan.
3. Bagaimana cara melakukan valuasi lahan basah
4. Prediksikan perubahan yang mungkin terjadi akibat perubahan iklim global terhadap lahan basah.
Jawab :
1. Yang dimaksud dengan contingent valuation method (CVM), hedonic pricing (HP), net factor income (NFI), dan the travel cost method (TCM) adalah sebagai berikut :
a. Contingent valuation method (CVM) adalah survey berbasis ekonomi teknik untuk valuation non-pasar, seperti pelestarian lingkungan atau dampak pencemaran juga satu teknik yang digunakan untuk mengukur aspek. Metode ini adalah metode yang digunakan secara luas untuk memperkirakan nilai komoditas yang tidak diperdagangkan. Metode CVM digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomi untuk semua jenis ekosistem dan jasa lingkungan dan nilai komoditas yang diperdagangkan atau yang tidak.
b. Hedonic pricing (HP) adalah sebuah metode untuk memperkirakan permintaan atau nilai, serta digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomi ekosistem atau jasa lingkungan yang secara langsung mempengaruhi harga pasar. Selain itu, juga dapat digunakan untuk memperkirakan keuntungan ekonomi atau biaya yang berkaitan dengan kualitas lingkungan yang secara langsung mempengaruhi harga pasar., seperti polusi udara, air, atau kebisingan. Biasanya digunakan untuk variasi dalam harga perumahan yang mencerminkan nilai atribut lingkungan setempat.
c. Net factor income (NFI) adalah sebuah metode yang merujuk kepada properti bersih aliran pendapatan dari dan ke bagian dunia (pembayaran pada pendapatan bersih) plus jaring aliran kompensasi karyawan (bersih pada penerimaan kompensasi).
d. The travel cost method (TCM) adalah metode penilaian ekonomi yang digunakan dalam analisis biaya manfaat untuk menghitung nilai dari sesuatu yang tidak dapat diperoleh melalui harga pasar (yakni Taman Nasional, Pantai, dan Ekosistem) atau untuk memperkirakan nilai ekonomi yang terkait dengan menggunakan ekosistem atau situs yang digunakan untuk rekreasi. TCM sering digunakan untuk menilai nilai taman, danau, dan daerah-daerah yang serupa.
2. Valuasi lahan basah meliputi penilaian terhadap tipe, ukuran, fungsi dan metode valuasi lahan basah tersebut. Proses valuasi lahan basah ini harus dilakukan karena lahan basah merupakan ekosistem yang produktif, mempunyai sejumlah fungsi dan manfaat yang bernilai bagi manusia. Bentang alam yang terbuka dan mempunyai bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan public sehingga menjadi semacam common property. Akan tetapi, lahan basah seringkali menjadi terlewatkan dan dianggap tidak bernilai dalam proses pengambilan keputusan dalam upaya pengelolaannya. Valuasi perlu dilakukan agar menjadi masukan neraca sumberdaya alam/lahan basah, sehingga dapat untuk meningkatkan upaya optimalisasi pemanfaatan lahan basah yang tidak akan berakibat buruk terhadap lahan basah.
3. Cara melakukan valuasi lahan basah yaitu dengan melakukan penilaian terhadap tipe, ukuran, fungsi, dan metode valuasi itu sendiri, serta sosio-ekonomik dan variable georeference dalam bentuk GDP per kapita, kepadatan populasi, koordinat posisi geografis dan berbagai variable yang menggambarkan lahan basah kajian sifat-sifat lahan basah yang dimaksudkan. Untuk melakukan valuasi lahan basah dapat dengan beberapa metode yaitu sebagai berikut :
(a )Hedonic Pricing Method
Metode ini memperkirakan nilai ekonomis dari ekosistem atau jasa/manfaat dari lingkungan yang secara langsung mempengaruhi harga pasar beberapa barang. Metode ini paling banyak diaplikasikan dalam variasi harga tempat tinggal yang menggambarkan nilai dari atribut lingkungan setempat.
(b) Productivity Method
Metode ini memperkirakan nilai ekonomis bagi produk-produk ekosistem atau jasa/manfaat dari ekosistem tersebut yang turut mendukung produksi barang-barang yang dijual secara komersial.
(c ) Market Price Method
Metode ini memperkirakan nilai ekonomis untuk produk-produk dari ekosistem atau jasa/manfaat dari ekosistem tersebut yang diperjualbelikan di pasar-pasar komersial.

(d) Travel Cost Method
Metode ini digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomis yang terkait dengan menggunakan ekosistem atau situs yang digunakan untuk rekreasi.
(e) Damage Cost Avoided, Replacement Cost, and Substitute Cost Methods
Metode ini digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomis yang didasarkan atas biaya penghindaran dari bahaya yang diakibatkan oleh hilangnya jasa/manfaat dari suatu ekosistem, biaya untuk penggantian jasa/manfaat dari ekosistem, atau biaya untuk menyediakan penggantian jasa/manfaat dari ekosistem tersebut.
(f) Contingent Valuation Method
Metode ini digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomis untuk segala macam ekosistem dan jasa-jasa lingkungan. Metode ini dapat digunakan untuk memperkirakan nilai komoditas yang diperdagangkan atau yang tidak, dan metode ini adalah metode yang digunakan secara luas untuk memperkirakan nilai komoditas yang tidak diperdagangkan. Metode ini juga merupakan mteode yang paling kontroversial dari metode penilaian non pasar.
(g) Contingent Choice Method
Metode ini digunakan untuk memperkirakan nilai ekonomis untuk berbagai ekosistem atau jasa/manfaat lingkungan secara virtual. Metode ini berdasarkan pertanyaan pada orang-orang untuk membuat penawaran antara menetapkan ekosistem atau jasa/manfaat lingkungan. Metode ini tidak langsung menanyakan keinginan’kerelaan untuk membayar.
(h) Benefit Transfer Method
Metode ini digunakan memperkirakan nilai ekonomis suatu ekosistem dengan cara mentransfer perkiraan adanya keuntungan dari pembelajaran yang telah diselesaikan bagi lokasi lain.
4. Perubahan yang mungkin terjadi akibat perubahan iklim global terhadap lahan basah tentunya adalah manfaat lahan basah itu sediri, karena sebagian dari lahan basah bergantung langsung pada proses geofisiknya, seperti kemampuan retensi sendimen, daya tampung banjir dan kapasitas buffer badai, kondisi iklim, biologis dan fungsi sosio-kultural termasuk dampak perubahan iklim global dan stabilitasnya, kelestarian keragaman hayati yang merupakan ornamental keindahan alami. Apabila iklim global berubah, akibatnya akan terasa secara langsung dan tidak langsung pada manfaatnya. Lahan basah itu sendiri secara berangsur juga akan berubah menjadi lahan basah yang berbeda baik secara bioligis, fisik ataupun unsur kimia yang ada didalamnya yang tak lain merupakan dampak dari perubahan iklim global. Akibatnya, lahan basah yang alami secara berangsur akan berubah menjadi lahan basah yang berbeda yang juga akan mendatangkan perbedaan manfaat beserta bahaya yang berbeda pula. Seperti timbulnya gejala El Nino yang mengakibatkan kekeringan. Hal ini dapat menyebabkan kekeringan pada beberapa sungai dan rawa. Ancaman kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya pula (kembali) menjadi faktor pendorong kebakaran hutan yang selama ini telah menghilangkan jutaan hektar lahan hutan. Selain itu, seiring dengan meningkatnya suhu bumi, maka es dikutub pun mulai mencair. Air laut yang merasuk hingga ke daratan dapat merusak keseimbangan ekosistem lahan basah. Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut juga menjadi ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Selain itu lahan-lahan pertanian menjadi kering karena kurangnya asupan air yang mengalir,sehingga banyak tanaman yg mati dan tidak dapat didayagunakan dan yang paling mencemaskan adalah berubahnya iklim sehingga berdampak buruk pada pola pertanian Indonesia yang mengandalkan makanan pokok beras pada pertanian sawah yang bergantung pada musim hujan. Suhu bumi yang panas menyebabkan mengeringnya air permukaan sehingga air menjadi langka. Kenaikan permukaan air laut juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Rusaknya mangrove akan berdampak pada abrasi pantai karena tidak adanya penahan gelombang. Begitu pula pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya penyaring polutan, dan berbagai spesies juga hilang. Serta, kegiatan budidaya perikanan tradisional akan terancam dengan sendirinya.

Rabu, 27 Mei 2009

POLUSI AKIBAT KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT & DAMPAKNYA TERHADAP MANUSIA SERTA LINGKUNGAN

-8">

Berdasarkan Konvensi Ramsar, luas lahan basah (wetland) di dunia mencapai 8.558.000 km2 atau lebih dari 6% luas permukaan bumi yang terbagi atas zona polar 200.000 km2; Boreal 2.558.000 km2; sub Boreal km2; sub tropis km2 dan zona tropis 2.638.000 km2 (Maltby and Tuner, 1983). Indonesia termasuk ke dalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Kini, luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 30,3 juta ha.

Gambut merupakan salah satu lahan basah di Kalsel yang cukup menjanjikan. Gambut adalah tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut. Di Kalimantan Proses pembentukan gambut terjadi baik pada daerah pantai maupun di daerah pedalaman dengan fisiografi yang memungkinkan terbentuknya gambut, oleh sebab itu kesuburan gambut sangat bervariasi, gambut pantai yang tipis umumnya cukup subur, sedang gambut pedalaman seperti di Bereng Bengkel KalTeng kurang subur.

Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari tumbuhan purba berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >40 cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1996). Menurut Andrisse (1988) gambut di daerah tropis terbentuk kurang dari 10.000 tahun lalu. Gambut pantai di Asia Tenggara umumnya berumur kurang dari 6.000 tahun .

Kesuburan gambut sangat bervariasi dari sangat subur sampai sangat miskin. Gambut tipis yang terbentuk diatas endapan liat atau lempung marin umumnya lebih subur dari gambut dalam (Widjaya Adhi, 1988). Atas dasar kesuburannya gambut dibedakan atas gambut subur (eutropik), gambut sedang (mesotropik) dan gambut miskin (oligotropik). Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang seringkali sangat kurang (Wong et al. 1986, dalam Mutalib10 et al.1991.) Kekahatan Cu acapkali terjadi pada tanaman jagung, ketela pohon dan kelapa sawit yang ditanam di tanah gambut.

Tanah gambut ombrogen dengan kubah gambut yang tebal umumnya memiliki kesuburan yang rendah dengan pH sekitar 3,3 namun pada gambut tipis di kawasan dekat tepi sungai gambut semakin subur dan pH berkisar 4,3 (Andriesse, 1988). Kemasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam asam organik yang terdapat pada koloid gambut. Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat yang menyebabkan tingginya kemasaman gambut. Selain itu terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat dapat meracuni tanaman pertanian (Sabiham, 1996). Jika tanah lapisan bawah mengandung pirit, pembuatan parit drainase dengan kedalaman mencapai lapisan pirit akan menyebabkan pirit teroksidasi dan menyebabkan meningkatnya kemasaman gambut dan air disaluran drainase.Sagiman, 2001).

Dari luasan total lahan gambut di dunia sebesar 423.825.000 ha, sebanyak 38.317.000 ha terdapat di wilayah tropika. Sekitar 50% dari luasan lahan gambut tropika tersebut terdapat di Indonesia yang tersebar di pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua, sehingga Indonesia menempati urutan ke-4 dalam hal luas total lahan gambut sedunia, setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.

Diperkirakan sedikitnya 20% dari luasan lahan gambut di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan meliputi pertanian, kehutanan, dan penambangan (Rieley dkk, 1996). Karena wataknya yang sangat rapuh, luasan lahan gambut di Indonesia cenderung mengalami penurunan, diperkirakan yang masih tersisa tidak lebih dari 17 juta hektar (Kurnain, 2005). Bahkan dari data yang telah dipublikasikan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2002, luasan lahan gambut di Indonesia hanya tersisa 13,203 juta hektar dari 16,266 juta hektar tahun 1997. Dari itu semua dan dari banyak publikasi yang telah dirilis baik melalui pertemuan ilmiah maupun laporan ilmiah, satu hal yang sudah pasti adalah telah terjadi degradasi hutan dan lahan gambut di Indonesia. Degradasi ini terutama terkait dengan pengalihfungsian lahan gambut alamiah untuk pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya, penipisan lapisan gambut oleh kegiatan pengatusan (drainase), dan perusakan dan penipisan lapisan gambut oleh peristiwa kebakaran. Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah terjadi selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran tersebut terjadi umumnya selama musim kering yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation (ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu, 2002). Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya.

Kebakaran hutan tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Statistik Kehutanan Indonesia telah mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun 1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui oleh umum terjadi pada tahun 1982/1983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk sekitar 500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al., 2000; Parish, 2002). Selanjutnya pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan adalah bencana alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO.. Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS, 1998), termasuk 750.000 ha di Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar rekaman sejarah tersebut di atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima tahun, yang nampaknya cocok benar dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.

Kebakaran hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan manusia. Faktor manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-kegiatan rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan. Menurut pengalaman di Malaysia (Abdullah et al., 2002; Musa & Parlan, 2002) dan di Sumatra (Sanders, 2005), kegiatan pembukaan dan persiapan lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman (Diemont et al., 2002). Hanya saja jika tidak terkendali, kegiatan ini dapat memicu terjadinya kebakaran.

Dalam skala besar, ancaman kebakaran terutama terjadi dalam kawasan hutan dan lahan gambut yang telah direklamasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 menunjukkan bahwa sekitar 80% dari luas lahan Proyek Pengembangan.

Pembakaran lahan dan hutan sebagai upaya pembersihan vegetasi di beberapa lokasi bergambut, persawahan, atau kawasan budidaya lainnya dilakukan secara bersamaan dan terus menerus, sehingga memperluas tersebarnya asap ke berbagai penjuru dan meningkatkan konsentrasi senyawa-senyawa berbahaya yang terkandung dalam kabut asap (karbonmonoksida. karbondioksida, nitrogen monoksida, sulfur dioksida). Bencana kabut asap terjadi setiap tahun dan dalam beberapa kasus sering merugikan negara tetangga (Malaysia, Singapura). Berdasarkan pada pengidentifikasian titik panas (hotspot) dari satelit, kabupaten yang berpotensi besar menghasilkan kabut asap adalah Banjar, Barito Kuala, Tapin, Tanah Laut, Hulu Sungai Tengah (B. Post, 2005e, 2005f).

Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut berbeda dengan yang terjadi di kawasan hutan dan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan bergambut, kebakaran tidak hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai hutan (forest floor) termasuk lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan.

Berdasarkan pengamatan lapangan (Usup et al., 2003) ada dua tipe kebakaran lapisan gambut, yaitu tipe lapisan permukaan dan tipe bawah permukaan. Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut hingga 10–15 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 cm jam-1 (atau 92 cm hari-1). Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 30–50 cm di bawah permukaan. Ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam-1 (atau 29 cm hari-1). Kebakaran tipe kedua ini paling berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe ke-2 ini sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun.

Kebakaran hutan merupakan proses yang paling dominan dalam kemampuanya menimbulkan polutan di samping juga proses atrisi dan penguapan. Karena dari pembakaran itulah akan meningkatkan bahan berupa substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai jumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi dan memberikan efek terhadap manusia, hewan, vegetasi dan material (Master; 1991). Atas dasar hal tersebut, jadi jelas-jelas bahwa akibat adanya kebakaran hutan akan menghasilkan polusi udara. Ada beberapa bahan polutan dari pembakaran yang dapat mencemari udara, diantaranya adalah bahan polutan primer, seperti: hidrokarbon dan karbon oksida, karbon dioksida, senyawa sulphur oksida, senyawa nitrogen oksida, nitrogen dioksida dan ozon (O). Adapun polutan berbentuk partikel adalah asap berupa partikel karbon yang sangat halus bercampur dengan debu hasil dari proses pemecahan suatu bahan.

Karbon dioksida (CO2) merupakan emisi terbesar yang dilepaskan ke atmosfer sebagai hasil dari pembakaran adalah CO. Bersama dengan uap air, CO mencapai 90 persen dari emisi atmosfer dari kebakaran, dan sebagian besar (80-90 persen) adalah emisi C. Karbon dioksida merupakan 99 persen dari emisi C dalam kebakaran yang efisien, yaitu pembakaran yang menghabiskan sebagian besar bahan bakar, jika tidak semua, dari bahan bakar tersedia, tetapi hanya 50 persen dalam intensitas rendah smoldering fire. Meskipun bukan polutan udara, senyawa bahan kimia ini merupakan gas rumah kaca. Oleh karena itu, mempunyai potensi untuk berdampak pada iklim global melalui pemanasan atmosfer Bumi. Sedangkan karbon monoksida (CO) umumnya dihasilkan melalui pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar yang lembab (basah), dan termasuk polutan udara. Dampak CO terhadap kesehatan manusia sebagian besar bergantung pada lamanya penyebaran, konsentrasi CO dan tingkatan aktivitas fisik. Pemadam kebakaran yang terlibat langsung dalam kegiatan pemadaman atau pembangunan sekat bakar dekat lokasi pembakaran, harus berhati-hati terhadap dampak CO, yaitu pusing, lelah/lesu, dan kehilangan konsentrasi dan orientasi. Sifat yang khas dari gas CO, adalah kemampuannya untuk berikatan dengan hemoglobin ( zat warna sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh ) 200 kali lebih besar dari pada oksigen, sehingga aliran oksigen terganggu. Kondisi ini berbahaya bagi otot jantung dan pembuluh darah tepi. Pada susunan syaraf dapat menyebabkan kejang-kejang dan hilang kesadaran. Pada wanita hamil akan menyebabkan aliran oksigen ke janin berkurang sehingga bayi akan lahir dengan berat badan rendah, keguguran, anak dengan kepintaran kurang {IQ rendah). Pada kulit akan cepat menjadi keriput dan kendur.

Hidrokarbon, bila dihirup akan mengakibatkan iritasi paru-paru dan dalam jangka panjang akan menyebabkan kanker paru-paru. Formalin: Selain sebagai bahan pensucihamaan dan pengawet mayat, yang berupa gas formalin dapat terhirup dari asap sisa pembakaran. Bila keracunan formalin: timbul mual,muntah, diare, bersih, radang amandel, iritasi hidung, radang dan pembengkakan paru-paru. Pada mata akan terjadi iritasi, mata merah, berair, radang selaput mata dan lensa. Partikel debu melayang ( Suspended Partikulated Matter/SPM ) merupakan campuran berbagai senyawa organik maupun nonorganik di udara, bisa juga bercampur dengan timah hitam. Partikel ini memyebabkan iritasi saluran pernapasan dan iritasi mata. Sedangkan pada tanaman yang tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran udara tinggi dapat terganggu pertumbuhannya dan rawan penyakit, antara lain klorosis, nekrosis, dan bintik hitam. Partikulat yang terdeposisi di permukaan tanaman dapat menghambat proses fotosintesis.

Methane adalah gas rumah kaca ketiga terbesar berlimpah yang didistribusikan terhadap pemanasan global. Kira-kira 10 persen methane dilepaskan ke dalam atmosfer setiap tahun datang dari pembakaran biomassa (Andreae, 1991). Nitrogen monoksida dan dioksida adalah gas yang berbahaya bagi manusia, NO2 empat kali lebih berbahaya dari pada gas NO, keracunan gas ini akan menyebabkan kelumpuhan system syaraf dan kejang. Pada paru- paru menyebabkan gejala infeksi pernapasan akut ( ISPA ) kesulitan bernapas, asma, pembengkakan paru-paru. Zat Oksidan seperti Oksidanperoksida atau Oksidanfotokimia terdiri dari Ozon, Nitrogen dioksida, Peroksiasetilnitrat, gas gas ini akan menyebabkan gangguan pernapasan sampai pembengkakan dan kanker paru paru. Pada susunan syaraf menyebabkan gangguan koordinasi, pusing berat, dapat juga menyebabkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan. Sulfur oksida membuat S sebagai emisi utama dari kebakaran. Sementara itu,SO adalah polutan udara, tetapi tidak begitu dipertimbangkan, sebagian besar karena dia membuat fraksi yang relatif kecil penyusun asap. Antara 40 persen hingga 60 persen dari S dalam bahan bakar yang dikonsumsi tertinggal dalam abu setelah kebakaran.

Perubahan iklim juga akan menambah resiko frekuensi kebakaran hutan di wilayah selatan Indonesia dimana hutan secara umum lebih kering, termasuk di selatan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan juga Jawa serta Bali.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dampak dari kebakaran hutan yang diakibatkan perubahan iklim ini juga berakibat pada:

  • Kesehatan. Selain mengemisikan karbon dioksida, kebakaran hutan juga akan melepaskan ke udara gas-gas beracun seperti karbon monoksida, ozon, nitrogen dioksida, hidrokarbon yang dapat mengakibatkan penyakit pernafasan yang gawat. Curah hujan yang lebih tinggi dan banjir akan mendorong distribusi yang lebih luas dari penyakit yang disebarkan melalui air. Suhu tropik yang lebih tinggi akan meningkatkan kejadian penyakit yang berasal dari makanan.

  • Mata Pencaharian. Meningkatnya prevalensi dan intensitas kebakaran akan mengancam berbagai komunitas yang sangat bergantung kepada hutan untuk memberikan mereka kayu dan juga kebutuhan non-kayu melalui kemunduran habitat hutan, dan akan mengancam ketersediaan air bersih.

  • Kehilangan Keanekaragaman Hayati. Kebakaran akan mengeliminasi tumbuhan dan hewan, selain sekaligus mendegradasi habitat hutan. Kebakaran tahun 1997-1998 mengurangi populasi orangutan sebesar sepertiganya.

  • Kehutanan dan Pertanian. Kebakaran hutan alami maupun yang disengaja telah menghancurkan kawasan luas hutan komersial maupun perkebunan dan pertanian, seperti hutan untuk bubur kayu dan perkebunan kelapa sawit.

  • Pariwisata Kebakaran dan kabut asap mengurangi jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan wisata dan hutan. Kebakaran dapat menghancurkan potensi hutan bagi wisata.

  • Transportasi. Kabut asap dari kebakaran dapat mengganggu lalu lintas di perkotaan, pelayaran laut. Rendahnya daya pandang yang diakibatkan adanya kebakaran hutan telah dikaitkan dengan terjadinya kecelakaan lalulintas udara dan pelayaran.

  • Emisi GRK (Gas Rumah Kaca). Kebakaran merupakan cara paling efektif untuk mengoksidasi biomassa menjadi karbon dioksika (CO2) dan gas-gas berjejak lainnya. Kebakaran hutan 1997/98 di Indonesia menghasilkan lebih dari setengah pertumbuhan tahunan emisi CO2 dunia .

Polusi asap menjadi penyebab dari sepertiga dari kerugian ekonomi total akibat kebakaran hutan pada tahun 1997/98 yang mencapai 800 juta US$. Secara politis, polusi asap lintas-batas yang merugikan negara-negara tetangga telah menjadi isu yang sangat kontroversial. Data-data dan penelitian yang baru menunjukkan bahwa 60% dari polusi asap di Indonesia, termasuk emisi karbon, berasal dari kebakaran di lahan-lahan gambut yang menutupi hanya 10-14% dari daratan Indonesia.

Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan. Upaya ini pada dasarnya harus dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah, yaitu sejak penetapan fungsi wilayah, perencanaan tata guna hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan, hingga pemantauan dan evaluasi.

Kegiatan pengendalian kebakaran meliputi kegiatan mitigasi, kesiagaan, dan pemadaman api. Kegiatan mitigasi bertujuan untuk mengurangi dampak kebakaran seperti pada kesehatan dan sektor transportasi yang disebabkan oleh asap. Beberapa kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan antara lain: (1) menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah rawan kebakaran, (2) menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu di daerah rawan kebakaran, (3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang bahaya kebakaran dan asap, (4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah rawan kebakaran, dan (5) membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran beserta dampaknya.

Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan cara mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan rawa-gambut harus dicegah. Apabila gambut menjadi kering secara

berlebihan, mereka akan kehilangan secara permanen sifat-sifat alaminya yang menyerupai spon dan tidak dapat direhabilitasi kembali. Lahan-lahan gambut yang terdegradasi ini harus dikelola untuk mencegah mereka menjadi padang rumput atau semak-belukar yang mudah terbakar secara teratur dan karenanya menjadi sumber kebakaran untuk daerah-daerah sekitarnya. Penggunaan api di kawasan gambut oleh masyarakat lokal hanya dapat dicegah apabila sumber penghidupan alternatif dapat disediakan. Saat ini masih belum jelas apa bentuk sumber penghidupan alternatif tersebut. Beberapa negara telah menyadari dan memperhatikan berbagai komplikasi sehubungan dengan kebakaran di lahan gambut. Mereka secara khusus telah melarang segala macam bentuk penggunaan api di kawasan-kawasan gambut, namun anehnya tetap mengijinkan pengkonversian dan pegembangan kawasan-kawasan tersebut. Malaysia dan Indonesia adalah negara-negara dimana hukum yang berlaku melarang

sepenuhnya penggunaan api di kawasankawasan gambut, namun kegiatan-kegiatan pengeringan/drainasi dan pengembangan masih diijinkan. Karena itulah, pencegahan dini oleh segenap komponen masyarakat merupakan solusi ampuh untuk menghindari kebakaran hutan dan lahan skala besar.

Wetlands mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia. Hal ini telah diakui dalam Konvensi Ramsar bahwa manusia mempunyai hubungan saling ketergantungan dengan lingkungan. Wetlands menjadi sumber utama perekonomian, kebudayaan, ilmu pengetahuan maupun nilai rekreasi, dengan hilangnya lahan basah akan sulit untuk diganti. Secara ekologis lahan basah berfungsi sebagai pengatur tata air dan sebagai habitat yang mendukung sifat-sifat flora dan fauna yang khas. Oleh sebab itu, mari kita sebagai generasi penerus bangsa harus menjaga dan melestarikan lingkungan hidup kita, terutama kawasan lahan basah agar tercipta kaseimbangan ekosistem yang hayati.















*Dikutip dari berbagai sumber

Fringging Reef in Bunaken

Gambar1. Taman Laut Bunaken

Bunaken adalah sebuah pulau seluas 8,08 km² di Teluk Manado, yang terletak di utara pulau Sulawesi, Indonesia. Berdasarkan pengukuran di google earth, diperoleh juga kira-kira luas dari Taman Laut Bunaken yaitu sekitar 17,09 km2. Pulau ini merupakan bagian dari kota Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Taman laut ini memiliki biodiversitas kelautan salah satu yang tertinggi di dunia. Bunaken meliputi area seluas 75.265 hektar dengan lima pulau yang berada di dalamnya, yakni Pulau Manado Tua, Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage berikut beberapa anak pulaunya, dan Pulau Naen. Meskipun meliputi area 75.265 hektar, lokasi penyelaman (diving) hanya terbatas di masing-masing pantai yang mengelilingi kelima pulau itu.

Taman Nasional Bunaken (TNB) merupakan perwakilan ekosistem perairan tropis Indonesia yang terdiri dari ekosistem hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem daratan/pesisir, yang berada di pulau Sulawesi.
TNB dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK nomor: 730/Kpts-II/1991 seluas 89,065 hektar di Kabupaten Minahasa dan Kota Manado, Propinsi Sulewesi Utara. Letak geografis 1°35’-1°49’ LU, 124°39’-124°35’ BT. Temperatur udara berkisar 26-31 derajat celcius, curah hujan 2.500-3.500 mm/tahun. Ketinggian tempat 0-800 meter dpl, kecerahan 10-30 meter dan pasang surur 2,5 meter. Musim Barat: Nopember s.d. Pebruari dan Musim Timur: Maret s.d. Oktober.
Taman nasional ini memiliki biodiversitas ke
lautan salah satu yang tertinggi di dunia. Taman nasional ini memiliki 20 titik penyelaman (dive spot) dengan kedalaman bervariasi hingga 1.344 meter. Dari 20 titik selam itu, 12 titik selam di antaranya berada di sekitar Pulau Bunaken. Sebagian besar dari 12 titik penyelaman di Pulau Bunaken berjajar dari bagian tenggara hingga bagian barat laut pulau tersebut. Di wilayah inilah terdapat underwater great walls, yang disebut juga hanging walls, atau dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal dan melengkung ke atas. Dinding karang ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan di perairan sekitar Bunaken. Sedangkan pada bagian Selatan meliputi sebagian pesisir Tanjung Kelapa.
Potensi daratan pulau-pulau taman nasional ini kaya dengan jenis palem, sagu, woka, silar dan kelapa. Jenis satwa yang ada di daratan
dan pesisir antara lain kera hitam Sulawesi (Macaca nigra nigra), rusa (Cervus timorensis russa), dan kuskus (Ailurops ursinus ursinus). Jenis tumbuhan di hutan bakau Taman Nasional Bunaken yaitu Rhizophora sp., Sonneratia sp., Lumnitzera sp., dan Bruguiera sp. Hutan ini kaya dengan berbagai jenis kepiting, udang, moluska dan berbagai jenis burung laut seperti camar, bangau, dara laut, dan cangak laut. Jenis ganggang yang terdapat di taman nasional ini meliputi jenis Caulerpa sp., Halimeda sp., dan Padina sp.

Tercatat 13 genera karang hidup di perairan Taman Nasional Bunaken, didominasi oleh jenis terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang. Yang paling menarik adalah tebing karang vertikal sampai sejauh 25-50 meter. Terumbu karang yang didominasi oleh jenis Pocilopora sp, Seriaattopora sp, Pachyseris sp, Porites sp, Fungia sp, Herpolitha sp, Holomitra sp, Galaxea sp, Pectinia sp, Lobophyllia sp, Echinopora sp dan Tubastrea sp.

Taman Nasional Laut Bunaken Manado Tua sebagai taman laut terindah di dunia memiliki keanekaragaman jenis organisme akuatik yang langka seperti ikan duyung, dugong-dugong, lumba-lumba dan berbagai jenis ikan hias seprti Hippocampus sp., kima raksasa, penyu sisik, penyu hijau. Di wilayah dataran terdapat monyet hitam (Macaca nigra). Sekitar 91 jenis ikan terdapat di perairan Taman Nasional Bunaken, diantaranya ikan kuda gusumi (Hippocampus kuda), oci putih (Seriola rivoliana), lolosi ekor kuning (Lutjanus kasmira), goropa (Ephinephelus spilotoceps dan Pseudanthias hypselosoma), ila gasi (Scolopsis bilineatus), dan lain-lain. Jenis moluska seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kepala kambing (Cassis cornuta), nautilus berongga (Nautilus pompillius), dan tunikates/ascidian (Anonim1,2009).http://www.khatulistiwa.jp/index.php?option=com_content&task=view&id=383&Itemid=45

Di dalam kawasan terdapat sebuah gunung yang sudah tidak aktif lagi yaitu G. Manado Tua (+ 400 m dpl). Topografi dasar perairan secara umum memiliki konfigurasi relief/contur dasar yang beragam. Walaupun topografi dasarnya beragam, tetapi tidak terdapat daerah yang berbahaya. Taman Nasional Laut Bunaken Manado Tua termasuk beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 2.000 - 3.000 mm per tahun, suhu udara antara 260 - 310 C. Selain sebagai tempat rekreasi dan wisata bahari antara lain diving, snorkeling, berjemur, berenang di laut dan lain-lain juga sebagai sarana penelitian (Anonim2,2009). http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/tn25bun.html






Pemanfaatan karang hidup







Kerusakan penyelam/jangkar






Pemboman Racun sianida




Ekosistem di sejumlah kawasan wisata Taman Laut Nasional Bunaken (TLNB) di Manado, Sulawesi Utara, saat ini terancam rusak. Pasalnya, tumpukan sampah yang semakin hari semakin menumpuk dari sejumlah muara sungai yang sengaja dibuang oleh orang tak bertanggung jawab di Kota Manado, mengalir ke Teluk Manado. Akibatnya, karang laut yang indah bersama pemandangan di dalam laut yang tak kalah menakjubkan itu dikuatirkan akan punah. Masalah ini, menurut Paruntu, mungkin akan menjadi akut ketika populasi manusia dan industrialisasi meningkat, khususnya di wilayah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhubungan dengan Teluk Manado. Jumlah penduduk Kota Manado tahun 2004 sekitar 420.000 jiwa. Jika itu dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 1990 yang sekitar 320.000 jiwa, maka dalam kurun waktu 14 tahun saja itu sudah bertambah 100.000 jiwa. Produksi limbah padat masyarakat kota Manado tahun 1999 rata-rata 1.050 meter kubik per hari dan tahun 2004 rata-rata 1.

600 meter kubik per hari. Daya angkut sampah oleh armada Dinas Kebersihan hanya kira-kira 50 persen dari jumlah total sampah per hari. Berdasarkan hal itu, dapat dicatat bahwa jumlah sampah padat bervariasi dari tahun ke tahun, dan menunjukkan angka yang meningkat seiring dengan pertambahan penduduk di Kota Manado. Menurut data The United Nation Joint Group of Expert on the Scientific Aspect of Meski demikian, keanekaragaman spesis di sini dapat terancam, jika dicemari oleh sampah, khususnya sampah plastik yang menumpuk di daerah pesisir maupun yang terapung di perairan. Sampah-sampah plastik dapat menyebabkan matinya terumbu karang karena permukaanya tertutup sampah. Selain itu, sampah dapat membawa organisme asing (alien spesies) ke habitat baru yang dapat mengancam biodiversitas(Anonim3,2009).http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2005/0804/wis02.html

Keberadaan TNB menjadi sebagai roda penggerak ekonomi Sulut dan mendukung perkembangan sarana pariwisata di Sulut. Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan TNB. Antara lain dibuat strategi untuk pengelolaan Taman Nasional yang baru, yaitu melibatkan masyarakat dan sektor pariwisata dalam pengelolaan khususnya untuk penegakan hukum. Masyarakat diberi kesadaran, pengelolaan Taman Nasional merupakan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah maupun masyarakat harus mempunyai andil agar kelestarian dapat terpelihara. Sebab permasalahan yang sering terjadi, masih ada masyarakat yang memanah ikan di zona pariwisata. Parahnya, ada yang menangkap ikan menggunakan bom dan sianida. Padahal mereka telah diberikan lokasi zona pemanfaatan masyarakat. Hal yang penting juga dilakukan, mengimplementasikan sistem tarif masuk untuk pengelolaan konservasi yang berkelanjutan. Selain itu, dibentuk juga Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken(DPTNB).(Anonim4,2009).http://mdopost.com/news/index.php?option=com_content&task=view&id=21675&Itemid=39

Karakteristik bio-geofisik wilayah pesisir seperti laut rentan terhadap kerusakan, baik yang diakibatkan oleh pengaruh alami maupun akibat aktivitas manusia. Faktor eksternal merupakan segala aktivitas yang berasal dari kegiatan manusia dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir, antara lain metode perlakuan yang salah, ketidakjelasan visi dan misi, dan perencanaan yang tidak terintegrasi serta tidak didukung oleh data/informasi yang aktual atau akurat. Sedangkan, faktor internal merupakan fenomena yang terjadi secara alami, antara lain geomorfologi dan oseanografi. Secara ekologis terdapat fenomena dinamis seperti: abrasi, akresi, erosi, deposisi dan intrusi air laut. Di samping itu, masih terdapat juga fenomena nonalamiah seperti: pembabatan hutan mangrove untuk pertambakan, pembangunan dermaga/jetty untuk pendaratan ikan dan reklamasi pantai. Gejala yang umum terjadi di wilayah kepesisiran adalah interaksi faktor alam dan aktivitas manusia secara bersamaan, sebagai penyebab adanya ketidakseimbangan siklus biogeokimia (Cook dan Doornkamp, 1990)

Salah satu pendekatan untuk mengatasi persoalan wilayah pesisir, diperlukan suatu konsep pengelolaan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, yang dikenal dengan Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) atau sekarang ini lebih dikenal dengan Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu (Integrated Coastal and Ocean Management). Konsep ini bertitik tolak pada pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan di berbagai tingkat pemerintahan; antara ekosistem darat dan laut serta antara sains dan manajemen. Dalam menyusun suatu perencanaan dibutuhkan untuk menemu-kenali isu aktual, menganalisis data dan menyediakan informasi secara akurat. Mengingat wilayah pesisir di Indonesia cukup luas, maka menggali isu dan data/informasi yang aktual serta merumuskan alternatif solusinya dapat diwujudkan melalui suatu forum komunikasi, pertukaran informasi dan pengalaman antar seluruh komponen pengelola dan pemerhati pesisir dan lautan, salah satunya dalam format Konferensi Nasional (KONAS) Pengelolaan Sumberdaya Pesisir.

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentang alam yang meliputi sifat dan karakteristik dari bentuk morfologi, klasifikasi dan perbedaannya serta proses yang berhubungan terhadap pembentukan morfologi tersebut. Secara garis besar bentuk morfologi permukaan bumi sekarang ini terbentuk oleh beberapa proses alamiah, antara lain proses agradasi yang membentuk permukaan bumi baru dengan akumulasi hasil erosi batuan pada daerah rendah, pantai dan dasar laut sedangkan proses biologi yang membentuk daratan biogenik seperti terumbu karang dan rawa gambut. Kondisi oseanografi fisika di kawasan pesisir dan laut dapat digambarkan oleh terjadinya fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, arus, kondisi suhu dan salinitas serta angin. Fenomena tersebut memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan sehingga menyebabkan terjadinya kondisi fisik perairan yang berbeda-beda. Suhu dan salinitas merupakan parameter oseanografi yang penting dalam sirkulasi untuk mempelajari asal usul massa air.

Suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian-pengkajian kelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut, tetapi juga dalam kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan, bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk pengkajian meteorologi. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Oleh sebab itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pula pola musiman.

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di dasar laut tropis yang di bangun terutama oleh biota penghasil kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya, seperti jenis-jenis mollusca, crustacea, ekhinodermata, polychaeta, porifera dan tunicata serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis ikan (Randall dan Eldredge, 1983 dalam Sabdono, 1996).

Terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi tipe terumbu karang yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan, di Bunaken merupakan tipe terumbu karang tepi (fringing reefs). Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal.

Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2, dengan batas sebaran di sekitar perairan dangkal laut tropis, antara 30 °LU dan 30 °LS. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara di seluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami kerusakan atau dirusak oleh kegiatan manusia setidaknya terjadi di 93 negara.

Berdasarkan distribusi geografinya maka 60% dari terumbu dunia ditemukan di Samudera Hindia dan Laut Merah, 25% berada di Samudera Pasifik dan sisanya 15% terdapat di Karibia. Region Indo-Pasifik terbentang mulai dari Asia Tenggara sampai ke Polinesia dan Australia, ke bagian barat sampai ke Samudera sampai Afrika Timur. Region ini merupakan bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska.

Zonasi terumbu karang berdasarkan hubungannya dengan paparan angin terbagi menjadi dua (gambar 5), yaitu:

  • Windward reef (terumbu yang menghadap angin)

Windward merupakan sisi yang menghadap arah datangnya angin. Zona ini diawali oleh reef slope atau lereng terumbu yang menghadap ke arah laut lepas. Di reef slope, kehidupan karang melimpah pada kedalaman sekitar 50 meter dan umumnya didominasi oleh karang lunak. Namun, pada kedalaman sekitar 15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur.

Mengarah ke dataran pulau atau gosong terumbu (patch reef), di bagian atas reef front terdapat penutupan alga koralin yang cukup luas di punggungan bukit terumbu tempat pengaruh gelombang yang kuat. Daerah ini disebut sebagai pematang alga atau algal ridge. Akhirnya zona windward diakhiri oleh rataan terumbu (reef flat) yang sangat dangkal.

  • Leeward reef (terumbu yang membelakangi angin)

Leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin. Zona ini umumnya memiliki hamparan terumbu karang yang lebih sempit daripada windward reef dan memiliki bentangan goba (lagoon) yang cukup lebar. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 meter, namun kondisinya kurang ideal untuk pertumbuhan karang karena kombinasi faktor gelombang dan sirkulasi air yang lemah serta sedimentasi yang lebih besar.

Wetland mempunyai beberapa ciri yang tampak, dan yang paling jelas adalah adanya air yang tetap, tanah wetland yang unik dan ditumbuhi oleh vegetasi yang mampu beradaptasi atau toleran terhadap tanah yang jenuh air. Wetland tidak mudah untuk didefinisikan, namun secara khusus untuk tujuan yang formal karena memiliki selang kondisi hidrologi yang dapat dipertimbangkan, karena wetland berada pada antara lahan kering dan sistem air dalam, dan karena memiliki variasi yang besar dalam ukuran, luasan, dan pengaruh manusia.

Perubahan yang mungkin terjadi akibat perubahan iklim global terhadap lahan basah tentunya adalah manfaat lahan basah itu sediri, karena sebagian dari lahan basah bergantung langsung pada proses geofisiknya, seperti kemampuan retensi sendimen, daya tampung banjir dan kapasitas buffer badai, kondisi iklim, biologis dan fungsi sosio-kultural termasuk dampak perubahan iklim global dan stabilitasnya, kelestarian keragaman hayati yang merupakan ornamental keindahan alami.

Apabila iklim global berubah, akibatnya akan terasa secara langsung dan tidak langsung pada manfaatnya. Lahan basah itu sendiri secara berangsur juga akan berubah menjadi lahan basah yang berbeda baik secara bioligis, fisik ataupun unsur kimia yang ada didalamnya yang tak lain merupakan dampak dari perubahan iklim global. Akibatnya, lahan basah yang alami secara berangsur akan berubah menjadi lahan basah yang berbeda yang juga akan mendatangkan perbedaan manfaat beserta bahaya yang berbeda pula. Pemanasan global juga menyebabkan perubahan tingkat keasaman terumbu karang yang menyebabkan kepunahan ekosistem tersebut. Air laut makin tidak asin lagi, dan seterusnya. Padahal disisi lain laut juga dapat menjadi penyelamat terhadap pemanasan global sebagaimana hutan. Seiring dengan meningkatnya suhu bumi, maka es dikutub pun mulai mencair. Air laut yang merasuk hingga ke daratan dapat merusak keseimbangan ekosistem lahan basah. Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut juga menjadi ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau.

Luas lahan basah (wetland) di dunia mencapai 8.558.000 km2 atau lebih dari 6% luas permukaan bumi yang terbagi atas zona polar 200.000 km2; Boreal 2.558.000 km2; sub Boreal km2; sub tropis km2 dan zona tropis 2.638.000 km2 (Maltby and Tuner, 1983). Indonesia termasuk kedalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 38 juta ha. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya lahan yang sudah, sedang dan akan menjadi sasaran dalam usaha meningkatkan produksi pangan. Lahan basah tersebut mempunyai banyak kelebihan atau keunggulan dibandingkan lahan kering dalam hal untuk keperluan memproduksi pangan dan pemukiman. Lahan basah daerah pesisir (coastal wetland) adalah salah satu tipe lahan basah yang potensial untuk dikembangkan. Namun demikian, dalam pengembangannya harus mempertimbangkan efek global dan lingkungan sekitarnya.

Sebaliknya, lahan basah merupakan ekosistem yang paling terdegradasi dan diduga telah hilang sebesar 50% dari luas lahan basah asli di dunia (Gardiner, 1994; Joes et al., 1995 dalam Spencer et al., 1998). Pertumbuhan penduduk yang cepat dan kemampuan teknologi selama Iron Age (1200 BC) mengakibatkan terjadinya pengalihan lahan basah untuk pemukiman, pertanian, industri dan penggunaan lainnya Penyebab utama degradasi lahan basah, khususnya lahan basah pesisir adalah faktor alam dan diperluas oleh campur tangan manusia.

Aktivitas manusia dengan cara mendrain lahan basah menimbulkan terjadinya subsiden dan munculnya lapisan tanah yang mengandung pyrit yang bila teroksidasi akan menghasilkan keasaman dan beracun (Manahan,1994). Hal ini juga terjadi di pantai timur Jambi, Sumatera (dendang, lagan dan simbur naik) sebagai akibat over drained (Furukawa, 1994). Di sisi lain pengalihan fungsi lahan basah pesisir untuk tempat pemukiman dan perkotaan (coastal city) dimana sekarang terdapat 24 megahydropolis yang berpenduduk lebih dari 10 juta seperti Jakarta, 13,25 juta, Mexico City 25,82 juta, Sao Paulo 23,97 juta dan New York 15,78 juta (Timmerman dan White, 1997). Potensi perkembangan kota pantai di Indonesia cukup besar seperti Semarang, Surabaya, dan beberapa kota di pantai timur Sumatera. Hal ini merupakan ancaman terhadap kelestarian lahan basah. Pengalihan lahan basah terutama lahan basah pesisir untuk tambak khususnya di Asia (Thailand dan Indonesia) yang berkembang pesat, bila tanpa dilakukan restorasi dan pengelolaan yang tepat akan menjadi masalah baik sekarang maupun masa datang.

Konservasi atau conservation lahan basah dapat diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada pada lahan basah sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi generasi yang akan datang(IUCN, 1980). Oleh karena lahan basah merupakan sumber daya yang dimanfaatkan oleh berbagai pengguna maka diperlukan suatu pengelolaan secara benar, terpadu dan berkelanjutan sehingga mempunyai kontribusi positif bagi kesejahteraan manusia kini dan mendatang.

Adapun faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam perkembangan ekosistem terumbu karang antara lain:

  • SUHU

Secara global, sebarang terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20 °C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18 °C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C.

  • SALINITAS

Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32­35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas. Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi

lain, terumbu karang dapat berkembang di wilayah bersalinitas tinggi seperti Teluk Persia yang salinitasnya 42 %.

  • CAHAYA DAN KEDALAMAN

Kedua faktor tersebut berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan.

  • KECERAHAN

Faktor ini berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula.

  • PAPARAN UDARA (aerial exposure)

Paparan udara terbuka merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya.

  • GELOMBANG

Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni atau polip karang.

  • ARUS

Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang.

Terumbu karang bukan merupakan sistem yang statis dan sederhana, melainkan suatu ekosistem yang dinamis dan kompleks. Tingginya produktivitas primer di ekosistem terumbu karang, bisa mencapai 5000 g C/m2/tahun, memicu produktivitas sekunder yang tinggi, yang berarti komunitas makhluk hidup yang ada di dalamnya sangat beraneka ragam dan tersedia dalam jumlah yang melimpah. Berbagai jenis makhluk hidup yang ada di ekosistem terumbu karang saling berinteraksi satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, membentuk suatu sistem kehidupan. Sistem kehidupan di terumbu karang dapat bertambah atau berkurang dimensinya akibat interaksi kompleks antara berbagai kekuatan biologis dan fisik.